Pada 1981, usai kecelakaan yang merenggut satu kakinya, Sugeng oleh keluarganya dibelikan kaki palsu yang harganya mahal. Begitu pun saat kaki pertamanya itu rusak, keluarga kembali membelikan kaki palsu lagi yang harganya makin naik. Melihat harga kaki palsu yang mahal dan tidak tahan lama, Sugeng mulai gerah dengan berinisiatif ingin memperbaikinya sendiri.
Tapi, tindakan itu justru ditentang kakaknya, Agus Prahmono. Ia akan marah sekali bila Sugeng coba-coba membongkar kaki palsunya. Hanya ibunya yang mendukung tindakan Sugeng. Karena itu begitu melihat Agus datang dan kebetulan Sugeng sedang membongkar kaki palsunya, maka ibunya akan menyuruh Sugeng menyembunyikan terlebih dulu.
“Waktu itu kaki palsu itu harganya setara dengan motor terbaru L2Super, yaitu Rp.120,000. Saya melarang Sugeng mempreteli (membongkar) sebab asumsi saya kaki palsu itu akan rusak karena dibongkar tanpa alat yang memadai. Kalau benar-benar rusak, onderdilnya sulit didapatkannya.”
Larangan itu rupanya tidak dihiraukan Sugeng. Semakin dilarang ia rupanya makin penasaran. Lama-lama Agus melihat tentang kesungguhan adiknya yang ingin mempelajari anatomi kaki palsu itu.
Karena itu Agus kemudian hanya pura-pura tidak tahu jika kebetulan mengetahui Sugeng sedang membongkar kaki palsunya. Lama-lama dari rasa penasaran ingin membongkar itulah akhirnya Sugeng bisa mengembalikan seperti sedia kala kaki palsu yang dibongkarnya. Yang tadinya Sugeng membongkar karena terpaksa akhirnya menjadi terbiasa. Bahkan bisa membuat sendiri meski hasilnya belum maksimal.
Agus Prahmonolah yang menawari Sugeng untuk loper susu. Bahkan untuk keperluan loper susu itu Agus menyediakan sepeda motor vespa agar mudah membawa susunya.
Dengan keadaan adiknya yang seperti saat ini, Agus mengaku bangga dan bersyukur sekali sebab masa depan adiknya yang sebelumnya mengkhawatirkan malah menjadi mengagumkan.
Menanggapi sifat adiknya yang keras, Agus menduga itu terjadi sejak mengalami ia mengalami kecelakaan. Dari situ adiknya seperti prustasi dengan keadaan yang ada, tapi itu kok lama-lama justru malah menjadi ciri khasnya dan obat penyemangat bagi orang-orang yang senasib dengannya.
Agus merasa adiknya sekarang ini sudah menjadi milik orang banyak, terutama yang membutuhkannya. Dari dulu, kalau bisa merubah, Agus sebenarnya ingin merubah gaya bicara adiknya yang ceplas-ceplos terhadap semua orang. Tapi, kok ya tidak bisa sampai saat ini. Ia berharap ucapannya itu tidak digebyah uyah pada semua orang. Kalau bisa dengan cara halus kenapa harus pakai gaya yang keras. Sebab, menurut Agus tidak semua orang mentalnya sama kuatnya. Ada yang dimarahi sedikit langsung pergi, itu yang bikin kasihan bagi penderita disabilitas yang tujuannya benar-benar ingin mendapatkan kaki palsu. (naskah rudianto ganis, foto dokumen pribadi)