Siang itu, setelah mengendarai sepeda motor bersama istri, Sugeng sampai di rumah TO (target operasi) di Lamongan. TO ternyata dari keluarga yang tidak mampu, hal itu bisa dilihat dari rumah dan perabotannya.
Sekitar 3 jam lebih, dengan dibantu istri yang setia membantu mengambilkan ini dan itu, kaki palsu untuk pasiennya akhirnya selesai. Sebelum eksekusi dilaksanakan, pun setelah pembuatan kaki palsu selesai, tidak ada tawar-menawar soal harga kaki palsu itu. Sugeng menyerahkan besarnya imbalan secara sukarela pada keluarga TO-nya.
Maka, saat Sugeng dan istri pamit pulang, sebuah amplop diselipkan di antara jari-jarinya. Sugeng pulang dengan santai tanpa memikirkan berapa isi uang dalam amplop itu.
Belum sampai di Mojosari, ban bagian belakang sepeda motor yang dinaiki Komendan bersama istri bocor. Menghadapi ban sepeda motornya yang bocor di tengah jalan, menuntunnya untuk mencari tukang tambal sebenarnya sudah biasa bagi Sugeng. Tapi, dengan peralatan membuat kaki palsu yang dibawanya, terkadang hal itu sedikit merepotkan gerakan kaki palsu Komendan yang tidak sesempurna kaki aslinya.
Tidak ada tukang tambal ban sepeda motor, yang ditemui Sugeng adalah tukang tambal ban yang biasa mengerjakan ban truk atau mobil-mobil besar. Tak apalah, biasa menambal ban yang besar-besar menambal ban kecil seperti sepeda motor pasti lebih mudah, pikir Sugeng pada waktu itu.
Kebetulan tempat tambal truk itu sedang sepi sehingga ban sepeda motor Sugeng langsung dikerjakan. Selesai ditambal, ban itu dipompa dengan pompa angin yang biasa digunakan untuk kendaraan besar, dan yang terjadi entah tidak terbiasa atau ceroboh tukang tambalnya, ban sepeda itu meletus. Tak hanya ban bagian dalam yang robek lebar, ban bagian luar pun robek dan tidak mungkin bisa ditambal lagi.
Tidak ada permintaan maaf atau berusaha mengganti atas kesalahan yang telah dilakukan tukang tambal ban tersebut. Sugeng pun berinisiatif mengganti ban dalam dan luar sepeda motornya. Pada waktu itu perkiraan harganya sekitar Rp 100 ribu. Sugeng kemudian melihat uang di dompetnya yang tidak mencukupi untuk membeli ban dalam dan luar motornya. Dengan percaya diri, ia pun mengambil amplop yang tadi sempat diselipkan keluarga yang memesan kaki palsunya.
Tapi, aaah, setelah dibuka, amplop itu ternyata hanya berisi uang Rp 10 ribu. Sugeng maklum dan ekspresinya datar, soal amplop yang tidak sesuai dengan harapan itu. Namun, tidak halnya dengan istrinya yang cemberut dan merasa tidak dihargai kerjaan suaminya.
“Ya, bagaimana lagi, rejekinya memang sudah segitu,” ujarnya. Kalau waktu itu dirinya tidak mendapatkan rejeki yang sesuai dari TO yang Lamongan, kata Sugeng, Tuhan pasti akan memberikan rejeki dengan cara lain. Untuk mengatasi masalah ban itu, Sugeng lalu menelepon kakaknya yang lalu mengirimi ban dalam dan luar sepeda motornya.
Soal istrinya yang cemberut, Sugeng maklum, sebab memang begitulah sifat wanita pada umumnya. Kalau pun saat ini hidup Sugeng dan keluarganya sudah berkecukupan, mungkin itu buah dari perbuatannya membantu sesama penyandang disabilitas yang membutuhkan kaki palsunya.
naskah dan foto : rudianto ganis