Mengutip berita di harian Jawa Pos, seorang dosen di Universitas Brawijaya Malang, semasa sehat mengaku tidak pernah memperhatikan kondisi fasilitas di kampusnya untuk para penyandang disabilitas. Baru setelah ia mengalami kecelakaan dan terpaksa harus memakai kruk, ia mengaku fasilitas untuk kaum disabilitas ternyata masih sangat kurang di kampus itu.
“Baru setelah saya berada di posisi mereka, saya sangat menyadari itu. Kita semua adalah calon penyandang disabiltas, entah karena kecelakaan, usia yang makin menua, dan lain sebagainya. Saya tidak bisa membayangkan bagaimana dosen-dosen yang sudah lanjut usianya naik ke lantai atas untuk mengajar sementara lift tidak tersedia. Pasti mereka ngos-ngosan dan akhirnya memutuskan tidak mengajar lagi,” ujarnya.
Suatu saat, di bengkel kaki palsu Sugeng Kaki Palsu yang ada di Kauman, Mojosari, Mojokerto, seorang lelaki tua yang dulunya gagah dan menjabat jabatan penting di TNI tidak berdaya karena faktor usia yang tidak bisa dilawannya. Tulang kakinya yang sebelah mengalami pengeroposan sehingga harus ditopang alat mirip kaki palsu. Sugeng yang mengerjakan menopang kaki itu karena menopang buatan rumah sakitnya mengalami kerusakan.
“Kaki yang seperti itu, baiknya dipotong saja, sebab akan terus mengalami pengeroposan yang naik sampai atas paha, tapi rupanya yang punya masih sayang,” ujar Sugeng tanpa beban.
Sugeng mengakui bahwa kita semua adalah calon menyandang disabilitas, entah karena kecelakaan kerja, di jalan raya, atau karena faktor usia. Karena itu, saat kita masih dalam kondisi sehat, sesekali posisikan kita melihat dari kacamata orang yang menyandang disabilitas. Dengan demikian, seseorang akan menjadi peka, memiliki rasa empati, dan menghormati mereka yang memiliki kekurangan tersebut.
“Di Mojokerto saja, banyak tempat-tempat umum yang tidak ramah pada penyandang disabilitas, bahkan sekelas gedung Pendopo Kabupaten Mojokerto, tidak ada jalan untuk pemakai kursi roda yang mau naik ke atasnya,” ujarnya.
Sugeng mengaku bahwa dirinya dan anak-anak penyandang disabilitas yang ada dalam kelompoknya, tidak akan menuntun fasilitas yang macam-macam itu. Baginya, yang paling penting adalah tidak akan mengunjungi tempat-tempat yang kira-kira tidak ramah bagi penyandang disabilitas. Kalau terpaksa mengunjungi itu namanya menyiksa diri. Karena itu, penting mengetahui bahwa suatu gedung atau tempat umum itu ada fasilitasnya untuk para difabel atau tidak, jika tidak ada, ya tidak akan ke sana. (naskah dan foto : rudianto ganis)