Kekurangan fisik bukan halangan Meitia Ekatina, disabilitas asal Jambi, Indonesia, untuk mengejar pendidikannya hingga Sydney, Australia. Wanita yang memakai kaki palsu buatan Komendan Sugeng Siswoyudono di salah satu kakinya ini tengah menempuh study S2-nya di jurusan Combined Postgraduate in TESOL and Special Education di University of New South Wales.
Tia, wanita ini biasa dipanggil menceritakan jika di Australia program-program dan pembangunannya sudah inclusive jadi perhatian pemerintah di sana terhadap penyandang disabilitas cukup baik. Sehingga kaum disabilitas tetap bisa ikut berpartisipasi di masyarakat karena mulai dari pembangunan infrastruktur dan lain-lain sudah inklusif sekali.
“Masyarakat di sini juga sudah lebih aware dengan keberadaan penyandang disabilitas, karena sejujurnya kadang kalau saya di Indonesia, mungkin masih ada perasaan-perasaan terdiskriminasi,” ungkap Tia, yang saat ini tinggal di Sydney bersama suami.
Menurut Tia, jika di Indonesia ia terkadang merasa masyarakat itu melihat penyandang disabilitas seakan-akan bukan bagian dari mereka. Mereka menurut Tia, mereka terkadang terasa aneh begitu melihat atau terhadap disabilitas. Sedang kalau di Australia, perbedaan itu menurutnya hampir tidak ada.
Di Australia, orang-orangnya ternyata justru lebih ramah ke terhadap penyandang disabilitas. Mereka juga tidak ragu buat menolong dan lain-lain. Semisalnya, jika ada pengguna kursi roda yang kesulitan di jalan, banyak yang bergerak cepat membantunya.
Mendapatkan beasiswa untuk pendidikannya, Tia mengaku jika sebenarnya biaya pendidikannya sendiri sudah ditanggung, termasuk uang akomodasi makan dan lain-lain. Menurut Tia hal itu sudah mencukupi, cuma kalau suami kemudian di sana tetap kerja itu supaya biar ada kesibukan dan productive saja.
“Kerja di sini lumayan banyak gajinya asal kitanya yang jangan terlalu milih-milih. Suami saya kerja di restaurant jadi kitchenhand, banyak juga mahasiswa asal Indonesia yang kerja parttime, mereka bisa jadi waiter di restaurant, kerja di hotel sebagai cleaning dan lain-lain,” cerita Tia.
Tia mengaku jika ia akan selesai kuliah kira-kira pada 2020. Nanti, rencana ke depannya usai menempuh pendidikan di Australia ia masih ingin bergerak di bidang yang sejalur sama pendidikannya, yaitu pendidikan. Jadi, nanti jika kembali ke Indonesia ia ingin membangun pendidikan yang inklusif, khususnya di daerah asalnya.
Ia juga punya cita-cita melanjutkan program-program kerjasama dengan HWDI Jambi, seperti advokasi untuk teman-teman difabel dan lain sebagainya. “Doanya saja semoga apa yang kami cita-cita nanti bisa tercapai,” pungkasnya. (naskah rudianto ganis, foto dok pribadi)