Hidup terus berjalan, dan kapal pun harus terus berlayar. Jika tidak ingin terombang-ambing di lautan, kapal harus punya tujuan. Dan, yang menentukan ke mana kapal harus berlayar mencapai tujuannya, nahkodalah yang harus menentukannya.
Di tengah lautan ombak yang seringkali tidak bersahabat, topan dan badai secar tiba-tiba bisa datang mengamuk. Menghempaskan kapal, membanting apa saja, bahkan menenggelamkan kapal. Yang tidak bisa meloloskan dari badai bisa saja menemui takdir hidupnya selesai saat itu. Yang bisa meloloskan diri pun meski menghadapi perjuangan berikutnya, menambal kapal yang bocor, menyambung kembali tali-tali kunci yang tercerai berai atau bersiasat mencari pengganti layar yang tak bisa lagi terkembang karena terlanjur luluh lantak oleh badai.
Demikianlah Sugeng memaknai tubuh manusia dalam kehidupan, “Tubuh kita seperti kapal, dan kaki kita adalah bagian dari kapal itu. Kaki yang patah, bahkan putus adalah kapal yang mesti diperbaiki”.
Karena itu pula, untuk kaki palsu yang dibuatnya, Sugeng menyebutnya dengan istilah “Kapal”. Memang bisa diartikan sebagai kepanjangan dari kaki palsu, namun bagi Sugeng, sebutan kapal sekaligus untuk menegaskan filosofi kaki palsu bagi kehidupan orang yang memakainya.
Orang yang sedang memakai kaki palsu seperti orang tengah berlayar. Pemakainya adalah nakhoda kapal. Jika nahkodanya tidak tahu jalan, maka ia akan sering menabrak, jika ia tidak punya haluan maka ia akan terombang-ambing di lautan lepas dan kaki palsu sekedar kaki palsu, seperti aksesoris yang tidak mampu membantu menumbuhkan sema ngat atau perjuangan.
Dengan memiliki kaki palsu, menurut Sugeng, seseorang diharapkan tidak saja bisa berjalan dan beraktivitas layaknya orang normal. Tapi, ia juga harus bisa mandiri. Menjadi manusia yang utuh, tidak hanya mampu menghidupi dirinya sendiri, tapi juga keluarga dan orang-orang di sekitarnya.
“Orang yang sedang memakai kaki palsu seperti orang tengah berlayar. Pemakainya adalah nakhoda kapal. Jika nahkodanya tidak tahu jalan, maka ia akan sering menabrak. Kapal itu tidak akan ada artinya jika tidak digunakan untuk mengarungi samudra. Kapal itu akan sia-sia jika dibiarkan begitu saja. Samudranya adalah kehidupan ini,” ujar Sugeng.
Sugeng menambahkan bahwa orang yang kakinya putus, lalu menyerah dan menggantungkan hidupnya pada belas kasihan orang lain adalah sebuah kebodohan.
Orang yang seperti itu adalah orang yang rendah diri, ia baiknya mati daripada hidup tapi menyusahkan orang lain. Kepada mereka yang mendapati nasib tidak punya kaki, Sugeng selalu mengatakan bahwa jangan menyerah, jangan berputus-asa, dan dunia tidak boleh berakhir meski tanpa kaki.
Kepada mereka yang benar-benar memiliki tekad ingin mandiri, Sugeng selalu mengajak untuk melakukan gebrakan dalam kehidupan mereka. “Tidak harus dalam usaha pembuatan kaki palsu, bisa yang lain-lain,” imbuhnya.
Sugeng memang tak sekedar memberi nasihat. Semua hal yang dituturkannya itu sudah dijalaninya sendiri. Ia juga pernah mendirikan usaha di bidang pembuatan rangka besi yang modelnya unik, yaitu jika rangka umumnya memakai kolom empat, Sugeng memakai kolom tiga. Sugeng juga pernah usaha di kaki lima, dengan memberi modal dan gerobak orang-orang yang membutuhkannya. (naskah dan foto : rudianto ganis)