Yang belum mengenal Sugeng akan dibuat sakit hati bila mendengar setiap ucapan lelaki ini. Rasanya tidak ada ucapannya yang tidak menyakitkan yang keluar dari mulut lelaki yang suka mengenakan jaket doreng tersebut.
Mereka yang tidak tahan, tidak sedikit yang ngeluyur pergi sambil membawa muka merah padam. Yang perempuan biasanya hanya menangis. Tidak sedikit pula yang mengaku marah dalam hati dan ingin menonjok muka Sugeng seandainya saja bisa melakukannya.
“Waktu pertama kali bertemu Pak Sugeng, saya dikata-katain jelek, pendek, bulat dan entah apalagi saya lupa! Orang seperti saya tidak berguna dan pantasnya dibuang ke sungai saja!” ucap Sarirejo atau yang biasa dipanggil Cak Jo.
Tapi, entah kenapa setelah rasa marah di dalam dada itu berhasil di tahan dan terus mendengar ucapan Sugeng, Cak Jo menjadi merenungi setiap ucapan Sugeng yang dinilai menjadi cambuk yang membangkitkan semangat bagi dirinya. Cak Jo kini tidak pernah malu terhadap kecacatan fisiknya. Bahkan, meski sebagai seorang penyandang disabilitas, ia tidak mau mengantungkan hidupnya pada orang lain. “Tubuh boleh cacat, tapi hati dan semangat tidak boleh cacat!” tandas Cak Jo.
Cak Jo mengakui jika Sugeng bicaranya memang ceplas-ceplos terhadap siapa saja. Tak peduli terhadap orang yang punya jabatan atau orang biasa. Tapi di balik itu, tidak sedikit yang mengakui jika Sugeng tak hanya ahli membuat kaki palsu, tapi ia juga ahli dalam memotivasi orang yang sedang putus asa. Caranya terkadang tidak lumrah, dimaki-maki sampai akhirnya justru orang yang dimaki-maki itu justru bersemangat dalam menghadapi kekurangannya.
Cak Jo memiliki kekurangan pada kedua kakinya yang diamputasi akibat kecelakaan hingga batas pangkal paha. Karena tidak mungkin dipasangi kaki palsu, dalam aktivitasnya Cak Jo selalu mengunakan kursi roda. Setelah bertemu Sugeng, semangat Cak Jo keluar dari rumah untuk bersosialiasi dengan orang lain, terutama pada penyandang disabilitas yang lain mulai kembali mengebu-gebu.
Cak Jo kemudian dibuatkan Sugeng motor modifikasi yang bisa dimasuki kursi roda sehingga Cak Jo bisa pergi ke tempat-tempat yang jauh. Awalnya, dengan motornya Cak Jo hanya berkutat sekitar daerah Mojokerto. Tapi, lama-lama Suromadu, Jember dan Jogjakarta pun dikunjunginya.
Cak Jo mengakui jika hubungannya dengan Komendan Sugeng seperti bapak dan anak. Setiap kali ada permasalahan, Cak Jo selalu membicarakan dengannya. Bahkan, saat lelaki ini memutuskan menikah, Sugeng adalah orang yang pertama diajak berbicara.
Sugeng mendukung pernikahan Cak Jo dengan salah seorang perempuan yang juga disabilitas. Pernikahan itu membuat banyak orang tidak menyangka dan terenyuh, tapi begitulah, jika memang Tuhan sudah berkehendak untuk menyatukan umatnya, tidak ada yang tidak mungkin meski kondisi keduanya dalam keterbatasan.
Berkat semangatnya pula, Cak Jo bahkan tidak lagi jadi pengangguran, tapi sudah punya pekerjaan sebagai tukang servis kompor dan mengajar anak-anak mengaji.
Cak Jo mengatakan jika kecelakaan pada 2006 itu tidak saja merenggut kedua kakinya, tapi hampir saja merenggut semangat hidupnya. Selama beberapa bulan, warga Desa Sawahan, Kecamatan Mojosari, Mojokerto ini tidak bisa berbuat apa-apa kecuali menyesali diri. Ia bahkan nyaris bunuh diri saking putus asanya.
Harta benda keluarganya ludes untuk biaya operasi yang beberapa kali berjalan sebab kakinya terus mengalami pembusukan. “Yang tersisa seperti yang terlihat sekarang ini. Itu semua akibat kecelakaan yang saya alami saat mengendarai sepeda motor dan bertabrakan dengan truk pada 2006,” ujarnya.
Setelah kecelakaan, Cak Jo tak tahu apa yang harus dilakukan pada hidupnya. Sementara tuntutan memenuhi kebutuhan hidup istri dan anaknya berada di depan mata. Jangankan untuk menghidupi istri dan anak, untuk dirinya sendiri saja, ia tak tak sanggup untuk melakukannya.
Waktu itu, Cak Jo sangat bergantung pada orang lain. Semua kegiatan mulai dari makan, mandi, berpakaian, dan buang hajat hampir tidak bisa ia lakukan seorang diri. Kedua orangtuanya yang setia membantunya. Dengan sabar kedua orangtua Cak Jo membantu segalanya. Tidak saja mengurusi Cak Jo, tapi juga mengurusi anaknya, yang tentu saja membutuhkan biaya untuk melanjutkan hidupnya. Sementara itu, istri Cak Jo memilih meninggalkan dirinya sebab sudah tidak ada yang bisa diharapkan dari lelaki tanpa kedua kaki itu.
Sampai akhirnya Cak Jo dipertemukan dengan Sugeng Kaki Palsu yang mampu memberinya semangat hidup untuk kembali menjalani hidupnya. Semangat hidup Cak Jo sebelumnya hampir padam kembali menyala.
Cak Jo bahkan akhirnya bisa memiliki sepeda motor sendiri berkat bantuan Sugeng. Tingkat keamanan sepeda ini untuk pengendaranya bisa dibilang cukup baik. Bahkan, di jalan raya, Cak Jo bisa melajukan kendaraannya 60 km/jam. Seperti pengemudi motor yang lain, Cak Jo juga mengurus SIM sebagai kelengkapannya.
Keterbatasan fisik juga tidak membuat Cak Jo ingin selalu bergantung pada orang lain. Dia semakin kreatif mencari nafkah. Ia bisa memperbaiki kompor gas yang rusak, merawat burung ocehan, dan mengajar anak-anak mengaji di rumahnya.
“Dari servis kompor dan jual-beli burung, sedikit-sedikit saya bisa mendapatkan penghasilan,” ujarnya merendah.
Meski sarat keterbatasan fisik dan ekonomi, Cak Jo juga masih ingin berperan penting di kampungnya. Dia juga seorang guru ngaji bagi anak-anak dan orang dewasa. Mereka belajar di Taman Pendidikan Quran (TPQ) yang didirikan Cak Jo.
TPQ Cak Jo ini juga bukan TPQ asal-asalan, tapi juga resmi dan terdaftar di Departemen Agama. Namanya TPQ Rondlotul Hidayah, atau Taman Pendidikan Alquran, yang berada di Desa Pekuwon RT 05/03, Kecamatan Bangsal, Mojokerto, Jawa Timur. (naskah dan foto : rudi ganis)