Lulus dari SMA, atas saran kerabatnya Sugeng berniat masuk ke Ponpes Gontor di Ponorogo. Namun, ia tidak lolos ponpes bergengsi itu dan akhirnya masuk ke sebuah pondok pesantren yang ada di Ngabar, yang masih dalam wilayah Ponorogo. Menurut Sugeng, mereka yang tidak diterima di Gontor biasanya memilih pesantren yang ada di Ngabar sebagai pilihan kedua. Pun demikian yang terjadi dengan Sugeng yang mengikuti saran beberapa kerabatnya untuk masuk di ponpes tersebut.
Berniat masuk ke Ponpes Gontor sebenarnya hati Sugeng masih setengah hati, tidak sepenuhnya. Tidak diterima di Gontor rasanya niat awal Sugeng yang sebelumnya setengah hati menjadi berkurang lagi, mungikin menjadi seperempatnya. Tapi, bagaimana lagi, ia tidak bisa berbuat banyak selain menuruti keinginan orangtua dan para kerabatnya.
Di lingkungan ponpes yang baru, Sugeng hanya mampu bertahan sekitar seminggu. Ia sempat menjalani proses penerimaan sebagai siswa baru di ponpes itu. Ia juga sempat mengikuti beberapa kegiatan, salah satunya adalah tampil di panggung bersama-sama kawan-kawannya yang baru untuk menyanyi. Jika kawan-kawannya kondisi fisiknya sehat walafiat, tidak halnya dengan Sugeng yang masih belum menerima sepenuhnya kekurangan yang ada pada dirinya.
Tapi, di antara kenangan di pondok yang paling tidak bisa dilupakan Sugeng adalah soal ungkapan Man Jadda Wajada. Ungkapan itu hampir setiap saat didengarnya saat masih berada di lingkungan pondok, yang biasanya diucapkan guru-guru sebelum memulai pelajaran. Pertama kali masuk saja, ungkapan itu sudah didengarnya dari seorang ustad dengan nada yang penuh semangat dan percaya diri dan harus ditirukan para santri.
“Jadi jauh sebelum novel atau film Negeri 5 Menara ramai dibaca dan ditonton banyak orang, yang salah satunya mengungkapkan kekuatan man jadda wajada, saya sudah mendengar ungkapan itu terlebih dulu,” kenang Sugeng.
Ungkapan man jadda wajada yang berarti barangsiapa bersungguh-sungguh pasti berhasil itu begitu merasuk dalam benak Sugeng. Mendengar ungkapan berbahasa Arab, yang lebih tepatnya dianggap sebagai pepatah berbahasa Arab itu, bukannya hati dan pikiran Sugeng semakin mantap untuk terus mondok, tapi hatinya semakin gusar.
Sugeng waktu itu berpendapat bahwa masuk ponpes seperti pelarian dari cobaan yang diterimanya. Karena tidak ingin menjalani setengah hati dan merasa sudah mendapatkan apa yang akan dilakukan, Sugeng memilih kabur dari ponpes tersebut. Hanya beberapa orang yang dipamiti saat ia memilih kabur dan kembali ke Mojokerto.
“Jika ingat itu rasanya menyesal, jadinya sampai tua begini saya tidak bisa mengaji. Tapi terus terang di pondok itu, meski hanya seminggu, saya seperti menemukan kuncinya,” ungkap Sugeng dengan lirih.
Kunci itu adalah tentang man jadda wajada, yang mana arti pepatah ini ialah jadda adalah bersungguh-sungguh. Jadi, menurut Sugeng jika kita bersungguh-sungguh dengan apa yang kita lakukan atau pekerjaan kita dan disambung dengan wajada, maka seseorang akan bisa mendapatkan apa yang diinginkannya.
Mengutip ungkapan ustadnya waktu masih di pondok, menurut Sugeng, Allah memang yang menentukan segala sesuatunya, tetapi manusia diwajibkan untuk melakukan ikhtiar dengan penuh kesungguhan. Sungguh-sungguh adalah salah satu cara menyempurnakan amal secara lahir sehingga kita akan benar-benar maksimal dalam berusaha untuk menggapai apa yang kita inginkan.
Jika masih belum juga tercapai sementara seseorang sudah benar-benar maksimal berusaha, menurut Sugeng itu baru bisa dikatakan sebagai takdir, jadi jangan sampai seseorang dengan mudah menyalahkan takdir, padahal ia belum maksimal dalam melakukan usahanya.
“Di mana ukuran maksimal dalam usaha, ya dalam hati dan pikiran seseorang masing-masing, diri sendirilah yang bisa mengukurnya,” ungkap Sugeng.
Tapi, kebanyakan yang terjadi orang terkadang rendah dalam mengukur kemaksimalan dalam usahanya. Sehingga yang terjadi, merasa sudah sangat maksimal dalam usaha tapi sesungguhnya masih dalam level yang rendah dalam usahanya.
Menurut Sugeng, setiap orang, baik yang normal atau yang memiliki keterbatasan dalam tubuhnya, sebenarnya memiliki potensi yang sama dalam segala hal, baik itu dalam meraih kesuksesan, termasuk salah satunya dalam meraih kekayaan. Hanya saja memang terkadang seseorang tidak mengenali potensi dirinya atau memang belum menemukannya. Karena itu tidak boleh lelah mencari dan menemukanya, itu beberapa kata yang sering diucapkan Sugeng pada para pasiennya.
“Saya ini secara fisik ora patek gena, orang yang tidak waras, tapi saya sedikit pun tidak merasa sebagai orang cacat. Saya tidak mau diperlakukan seperti orang tidak waras, wong saya bisa bekerja sebagai pedagang susu, penjual makanan di pinggir jalan, saya juga bisa naik sepeda pancal dari Mojokerto sampai Malang. SIM saya juga normal semua, SIM C untuk sepeda motor ada, SIM A untuk mobil saya juga punya, semua itu saya dapatkan dengan cara yang normal, pakai ujian. Motor dan mobil yang saya naiki juga normal, tidak SIM khusus untuk para penyandang cacat, ” tandas Sugeng dengan penuh percaya diri. ## (naskah dan foto: rudi ganis)