Selama bertahun-tahun, Sugeng tidak pernah memiliki KTP, KK, dan selalu ditinggal para tetangganya jika kampung mengadakan suatu kegiatan. Untuk keperluan anak-anaknya yang sekolah jika membutuhkan surat keterangan atau yang lainnya, Sugeng biasanya menyuruh anak-anaknya untuk mandiri mengurus sendiri. Baru jika terpaksa meminta bantuan kakaknya Sugeng yang biasanya dengan senang hati akan melakukannya.
Sugeng tidak saja ditinggal para tetangga jika ada undangan pertemuan warga, tapi Sugeng juga ditinggal jika ada fogging nyamuk yang ada di kampungnya. Rumah Sugeng selalu dilewati begitu petugas penyeprot melakukan tugasnya. Tidak harmonis dengan lingkungannya, Sugeng justru banyak berteman dengan orang dari luar kampungnya.
Namun, kawan-kawan Sugeng ini justru berasal dari orang yang tidak benar, baik dari kelakuan maupun fisiknya. Selain banyak berkawan dengan para disabilitas, beberapa anak buah Sugeng yang bekerja di bengkelnya di antaranya juga berasal dari mantan preman atau orang-orang jalanan yang kelakuannya dinilai kurang baik oleh lingkungannya.
Menurut Sugeng semua orang bisa berubah, tidak selamanya yang tidak baik akan jelek. Begitu juga sebaliknya. Maling pun bisa jadi ustad jika memang garis hidupnya sudah begitu dan tentu ada kemauan untuk merubahnya. Prilaku Sugeng yang banyak berteman dengan orang-orang tidak baik makin membuatnya dijauhi orang-orang di lingkungannya. Mereka beranggapan bahwa orang-orang yang tidak baik itu bisa menularkan hal yang tidak baik pula, karena itulah harus dijauhi.
Kenapa Sugeng mengesankan dirinya seperti seorang pemberontak? Tak lain dan tak bukan, sikap Sugeng yang terkesan pemberontak di lingkungannya akibat dari dirinya yang tidak sepenuhnya percaya pada aparat, pejabat, atau orang-orang pemerintahan. Baik di tingkat yang paling rendah seperti RT/RW, Lurah, atau pejabat di level yang tinggi.
Penyebabnya adalah kecelakaan yang membuat sebelah kakinya harus diamputasi karena truk yang menabraknya. Ceritanya, usai menabrak Sugeng, sopir dan pemilik truk ternyata tidak mendapatkan hukuman yang setimpal atas kesalahannya.
“Saya tidak mendapatkan ganti rugi yang sesuai, bahkan aparat yang menangani seolah sedang berpihak kepada mereka yang menabrak saya. Saya sebenarnya tidak terima itu, tapi bagaimana lagi, pada waktu itu saya belum mengerti apa-apa,” kenang Sugeng.
Hal lain yang membuat hubungan Sugeng dan tetangga kurang baik adalah masalah tanah pekarangan yang sempat menjadi sengketa, namun akhirnya saat ini bisa diselesaikan. Tidak harmonisnya dengan para tetangga, bisa pula akibat mereka iri melihat keberhasilan Sugeng dalam usaha pembuatan kaki palsu yang mempekerjakan orang luar, lebih-lebih mantan preman, sementara orang di lingkungannya tidak diajak bergabung.
Namun, seiring dengan waktu, hubungan yang tidak harmonis dengan tetangga itu akhirnya redah seiring dengan majunya dan keterkenalan Sugeng di luar sana. Mereka tahu tentang kebaikan hati Sugeng yang sesungguhnya melalui pemberitaan di media massa dan televisi. Orang luar saja banyak yang percaya pada niat dan perjuangan Sugeng soal membantu para penyandang disabiltas, masak para tetangga yang dekat tidak mempercayainya.
Sugeng, sang pemberontak itu, saat ini boleh dibilang sudah menjadi warga Kauman yang baik. Setiap kali datang panggilan waktunya sholat wajib, ia selalu datang ke masjid di dekat rumahnya untuk sholat berjamaah. Di tengah jalan saat berpapasan dengan warga, banyak yang menyapanya dengan sebutan Abah dan Sugeng selalu menjawab atau tersenyum dengan ramah. (naskah dan foto : rudi ganis)