Selama masih tinggal di Dinoyo Tangsi, Surabaya, saya memiliki pengalaman yang tidak menyenangkan terhadap orang cacat kaki. Salah satu yang kuat melekat dalam ingatan adalah perlakuan yang menyakitkan dari salah satu anak di kampung itu. Kedua kakinya tidak mampu menopang tubuhnya yang kurus karena polio. Dia lebih tua sekitar tiga tahun dariku. Sehari-hari dia beraktivitas dengan dibantu tongkat penyangga yang dikempit di ketiaknya.
Ada hari-hari tertentu dia naik kursi roda yang didesainkhusus, sehingga menyerupai becak dengan kemudi di depan. Hebatnya, ‘kendaraan’ ini bisa dinaiki rame-rame. Tak heran jika kemudian banyak anak-anak yang suka dan berhasrat untuk turut menaikinya. Untuk menggerakkan kereta, penumpangnya harus me – ngayuh pedal yang ada di batang setir. Kemunculan anak itu bersama kendaraan ajaibnya selalu dinanti anak-anak di kampung saya. Mereka biasanya berebut untuk naik kereta itu.
Untuk bisa menumpang di kereta itu, anak berkaki polio tersebut menarik “bayaran” berupa benda-benda permainan yang sedang musim saat itu. Kalau musim layangan, maka setiap anak yang hendak menumpang keretanya ditarik bayaran sebuah layang-layang. Jika musim kelereng, maka bayarannya juga ke – lereng. Begitu seterusnya, tergantung permainan apa yang sedang musim waktu itu.
Masalahnya, kenikmatan dan kebahagiaan naik kereta itu belum pernah saya rasakan. Entah mengapa, saya satu-satunya anak di kampung itu yang tidak diizinkan oleh anak berkaki polio itu menumpang kendaraan ajaibnya. Berkali-kali saya mencoba membujuk agar diperbolehkan menumpang, bahkan dengan “bayaran” yang lebih banyak, tetap saja dia bergeming. Kalau saya memaksa nggandol di belakang kereta, maka tongkat yang ada di samping keretanya akan mendarat ke badan atau kepala saya.
Kebencian anak itu pada saya sungguh sulit dipahami. Bukan saja melarang menumpang keretanya, anak itu bahkan sering mengejar-ngejar saya dengan tongkatnya. Saya seakan musuh yang paling dibencinya. Saya takut sekali pada anak itu.
Begitu juga anak-anak di kampung Dinoyo. Selain dia memiliki sejata tongkat sakti, orangtuanya, terutama ayahnya, selalu membela anak itu jika sang anak berkelahi dengan anak-anak lain. Pengalaman buruk di masa kecil ini menyebabkan di alam bawah sadar saya tertanam keyakinan bahwa merasa semua orang yang kakinya cacat dan memakai tongkat itu jahat.
Bertahun-tahun perasaan itu melekat dalam pikiran, bahkan hingga dewasa. Saya selalu menghindar jika berpapasan dengan orang cacat kaki. Trauma itu ternyata baru berakhir ketika bertemu Sugeng Siswoyudono. Pembuat kaki palsu yang menjadi tamu di acara Kick Andy itu membalikkan anggapan saya yang selama ini negatif tentang orang-orang yang kakinya cacat.
Dari sosok Sugeng, saya bisa mendapatkan pemahaman baru tentang penyandang cacat yang terlanjur melekat kuat di alam bawah sadar saya karena pengalaman masa kecil. Sugeng adalah sosok dengan kepedulian yang sangat tinggi, ia dengan sukarela membantu membuatkan kaki palsu kepada siapa saja yang membutuhkan. Tak lagi memperhitungkan tenaga, atau kebutuhan hidupnya sendiri. Baginya menolong orang lain adalah hal yang diutamakan.
Kisah Sugeng ini kami angkat di Kick Andy. Sejak saat itu, melalui Kick Andy Faundation, kami menjalankan Gerakan Seribu Kaki Palsu gratis untuk membantu keluarga prasejahtera. Sejak itu pula trauma masa kecil saya ikut pupus. (Dikutip dari Buku Andy F. Noya; Kisah Hidupku)