Sugiati, wanita asal Blora, Jawa Tengah itu kehilangan kaki palsu sejak tiga tahun yang lalu. Penyakit diabetes yang membuat kakinya terpaksa harus diamputasi. Tulang kakinya yang diserang penyakit mematikan itu mengalami pembusukan hingga keputusaan terakhir adalah amputasi.
Setelah diamputasi, tidak menunggu waktu lama, baru tiga bulan Sugiati sudah ingin memakai kaki palsu. Padahal idealnya ia harus menunggu sampai kaki yang habis dipotong itu kering dulu. Bersama keluarga ia pun mendapatkan kaki palsu, namun sayang bagian tungkai kaki palsu itu tidak bisa mantul atau bergerak dinamis karena tidak ada peernya.
Tak lama dipakai wanita berusia 59 tahun itu, kaki palsu itu kemudian rusak di pakai telapak kakinya. Dari seseorang yang pernah mendapatkan kaki palsu, Sugiati dan keluarga mendapatkan informasi soal bengkel Sugeng yang ada di Mojosari, Mojokerto.
Sabtu (15/6), bersama anaknya, Sugiati jauh-jauh dari Blora datang ke Mojosari untuk memesan kaki palsu buatan Komendan Sugeng. Pagi-pagi sekali, habis shubuh mereka berangkat dari Blora menuju Markaz Komendan Sugeng Kaki Palsu yang ada di Kauman Gang III, Mojosari, Mojokerto. Karena para anak buah Sugeng belum datang, Sugeng mengeksekusi sendiri pengukuran kaki palsu palsu Sugiati yang akan dicetak.
“Kaki palsu buatan sini itu jelek lho, Bu,” celetuk Sugeng sambil membalutkan kasa yang akan dipakai untuk ukuran cetakan.
“Meski jelek, saya jauh-jauh datang ke sini lho, Bah, yang penting enak dipakai,” ucap wanita yang sudah lama ditinggal suaminya berpulang itu.
“Kaki yang bagus dan enak dipakai itu yang buatan Gusti Allah, Bu, bukan buatan sini,” celetuk Sugeng lagi.
Ibu dan anaknya itu hanya tersenyum mendengar kalimat Sugeng.
“Sampeyan itu Bu, diberi yang palsu kok mau saja,” ucap Sugeng lagi. Mendengar itu yang lain pun tertawa.
Sekitar 3 jam, kaki palsu pesanan Sugiati, yang dulu pernah menjadi perias manten, persewaan terop, cattering, yang sekarang diteruskan anak-anaknya itu akhirnya selesai. Ia pun mencoba memakainya. Kondisi penglihatan yang mengalami rabun, dan tubuh yang kegemukkan membuat proses latihan jalan memakai kaki palsu sedikit lambat.
“Yang penting ada kemauan untuk terus belajar memakainya,” jelas Sugeng sambil mengawasi Sugiati berlatih berjalan.
“Yo opo (bagaimana ), Bu, enak tah?” tanya menantunya.
Mendengar kalimat dari menantunya itu, Sugeng langsung menyabar, “Hai, Mas tidak ada yang enak orang yang memakai kaki palsu itu, meski harga kakinya harganya ratusan juta rupiah atau buatan luar negeri sekali pun. Yang enak itu kaki buatan Gusti Allah!” ucap Sugeng lagi. ## (naskah dan foto rudianto ganis)